Diperuntukkan untuk konco-konco Operator yang membutuhkan informasi, baik itu penting ataupun tidak penting sama sekali

Minggu, 30 Oktober 2011

Guru (dulu dan sekarang beda)


SEDIKIT TENTANG GURU

Sering saya lihat banyak guru yang berunjuk rasa menuntut kesejahteraan akhir-akhir ini. Kehidupan ekonomi keluarga rupanya telah memaksa mereka untuk turun ke jalan, untuk berpanas-panasan di bawah terik matahari sambil berteriak dengan penuh semangat. Hampir di setiap penjuru tanah air para guru berunjuk rasa, sehingga saya jadi tahu ternyata yang suka unjuk rasa itu bukan hanya mahasiswa dan buruh, para pendidik itu rupanya melakukan juga. Sekarang di masa yang katanya reformasi, demokrasi diumbar sebebas-bebasnya, dari media sampai pemilihan kepala desa semuanya berjalan disesuaikan dengan yang namanya demokrasi. Dan karena gelombang reformasi juga, saya jadi lebih sering melihat orang-orang turun ke jalan untuk unjuk rasa atau demonstrasi, tak terkecuali para guru. Sekarang ini jika ada ketidakpuasan dan pertentangan keinginan, semuanya seolah-olah harus dipertontonkan di jalanan. Setiap deadlock seolah-olah harus diselesaikan dengan unjuk rasa. Mungkin cara ini bertujuan agar diliput media dan disebarkannya ke setiap anggota masyarakat yang menjadi konsumen media itu. Sekarang di mana-mana media menjadi ujung tombak. Dari kebijakan kepala negara sampai urusan gossip rumah tangga yang remeh temeh mendapat porsi yang sama banyaknya, dan media sekali lagi adalah ujung tombak.
Dari media juga saya tahu bahwa anggaran belanja untuk pendidikan adalah sebesar 20 persen dari total anggaran. Dan dari media juga saya tahu bahwa anggaran itu banyak bocor di tengah jalan sehingga para pelaku pendidikan yang salah satunya adalah guru banyak yang mengeluh dan berteriak minta keadilan. Sebagai orang yang dibesarkan di daerah pinggiran, saya takjub juga ketika mengetahui banyak guru yang sering mengeluh akhir-akhir ini. Hal ini karena dulu di kampung, ketika saya dididik oleh guru-guru saya yang hampir semuanya tidak kaya, acara-acara seperti unjuk rasa ini tidak pernah ada, terlebih ketika saya duduk di Sekolah Dasar.
Dengan kemampuan pengamatan anak kecil, saya setiap hari dididik oleh guru-guru yang menyenangkan, ceria dan jiwa pengabdian yang besar. Saya tidak pernah melihat mereka murung karena kemiskinan, apalagi berbicara soal minimnya kesejahteraan, saya tidak pernah mendengarnya. Di sekolah, yang pakai motor hanya bapak kepala sekolah saja. Bagi yang rumahnya jauh, para guru memakai angkutan umum dan yang rumahnya dekat, para guru cukup berjalan kaki saja sama seperti anak-anak didiknya. Jika tingkat kesejahteraan diukur dengan kendaraan, maka guru-guru saya semuanya tidak sejahtera, dan sejak kelas 1 sampai kelas 6 saya tidak pernah melihat mereka murung karena tidak punya kendaraan.
Saya tidak bisa mendeskripsikan guru-guru saya waktu SD dengan kata-kata yang menawan, yang jelas mereka bagi saya adalah orang-orang yang tidak hanya mengajar, tapi juga mendidik murid-muridnya dengan tulus dan penuh kasih sayang. Ini bukan pengakuan yang timbul karena adanya kewajiban untuk menghormati guru, tapi pengalaman saya selama 6 tahun tidak pernah dihadapkan dengan guru yang pandai mengeluh dan berunjuk rasa. Hal ini mungkin juga karena guru-guru kampung tidak tahu berita sehingga mereka tidak kritis dan tidak pandai berorasi. Mereka tahunya hanya bekerja dan mendermakan ilmu yang tidak banyak itu, tapi ketulusan ternyata mengalahkan ilmu pengetahuan.
Saya tidak sedang menuliskan pengalaman yang melankolik, tapi kenyataannya demikian. Ketika saya masih kuliah dan harus pulang untuk liburan, guru-guru saya waktu SD sudah pada pensiun dan digantikan guru-guru baru yang secara kesejahteraan lebih baik. Tapi guru-guru SD yang baru itu kebanyakan terlalu sering bersolek dan bergosip, itu saya ketahui dari cerita adik saya yang masih SD. Sekolah menjadi sering dibubarkan hanya karena para guru akan mengadakan acara makan-makan. Anak-anak SD sekarang menjadi lebih pintar membicarakan keburukan guru daripada kebaikannya. Apakah anak-anak itu hanya mengada-ngada?, saya tidak tahu. Rasa hormat kepada guru perlahan menjadi luntur, apakah ini karena anak sekarang terlalu kritis?. Tingkat kepintaran anak-anak semakin meningkat, tapi kebrengsekannya pun tidak berkurang. Ilmu pengetahuan berkembang pesat di mana-mana dan etika pun mengalami degradasi di mana-mana. Ada guru membunuh murid, ada guru memperkosa murid, ada murid mengeroyok guru, ada murid berkelahi dengan guru. Sekolah sepertinya hanya menjadi tempat pengajaran bukan tempat pengajaran dan pendidikan. Mungkin Departemen Pendidikan Nasional akan berubah menjadi Departemen Pengajaran Nasional?.
Saya sangat takut jika kemudian profesi guru menjadi sebatas kegiatan mentransfer ilmu tanpa mewariskan nilai-nilai luhur pendidikan. Saya juga khawatir jika para guru terlalu disibukkan dengan tuntutan-tuntutan tentang kesejahteraan tanpa disertai dengan peningkatan kualitas dan pengabdian yang tinggi. Ingin sekali saya bertemu dengan guru-guru saya waktu SD dan membicarakan hal ini pada mereka. Atau bercerita tentang pelaksanaan UN yang begitu menghebohkan sehingga banyak para guru yang ditangkap polisi elite Densus 88, dan tentang para siswa yang sangat ketakutan ketika UN tiba.
Saya merasa ada beberapa hal yang menjadikan pendidikan tidak lagi menyenangkan, dan itu bagi saya sangat sulit untuk dituliskan. Saya tidak bisa merangkai kata-kata untuk menggambarkan bahwa pendidikan itu seharusnya menyenangkan, baik bagi guru maupun bagi siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar